“
Nama aku Rachman Wachyu Din , tapi teman-teman kelas satu biasa sih panggil aku
Udin hehehe .. “ .
Aku tersenyum sedikit sambil nyengir, kemudian kembali ke
tempat duduk diiringi tawa kecil dari teman-teman baru.
Ya,
kalimat itu aku ucapkan saat perkenalan naik ke kelas 2 SMA jurusan IPA yang
membuat nama panggilan itu melekat sampai aku tamat sekolah. Mulai dari teman
sekelas, kelas yang lain atau bahkan kakak atau adik kelas kenal aku dengan
nama itu. Entah dari mana aku berfikir untuk merangkai kata-kata perkenalan
yang sama sekali enggak keren kayak gitu. Tapi aku pikir dari pada bingung mau
bilang apa di depan kelas, itu kalimat paling
pas dan singkat yang ada di otak ku. Alhasil dengan nama panggilan itu,
cewek-cewek cantik yang pengen di ajak kenalan jadi sulit buat dideketin, udah
keduluan ilfill. Membayangkan wajah ku yang sepertinya terkesan tua.
Menurut
aku nama Udin itu memang terlihat akrab dan simple, tapi sangat jarang terutama
di zaman seperti sekarang anak yang lahir tahun 90-an diberi nama panggilan
begitu, apalagi nama beneran. Merubah kharisma seseorang menjadi tua hanya
karena sebuah nama panggilan. Kalau zaman
mama aku remajaatau sebelumnya nama
panggilan seperti itu mungkin masih ada. Misalnya nama kakek aku, Akhiruddin
Lubis, dulu beliau cocok di panggil Udin. Begitu juga om aku yang bernama
Syafruddin Lubis, bisa jadi dia juga mendapat panggilan yang sama.Mama aku juga
pernah, bilang kalo semasa dia SMA dulu banyak orang yang juga mendapatkan
panggilan seperti itu, dengan tujuan mama pengen buat biar aku memaklumi. Hal
ini setidaknya cukup menghibur hati ku, apalagi mama ku juga bilang kalo
panggilan Udin itu juga hanya sesaat saja. Tapi keadaan berkata lain, nama Udin
pada diriku malah dilestarikan oleh teman teman.
Semua
ini gara-gara Syahrial, teman sebangku aku kelas satu SMA yang menciptakan nama
itu. Aku tau itu dikarenakan nama ku yang dipisah menjadi 3 suku kata dan
memang terlihat aneh. Menemukan nama Udin di tahun 2000-an, ibarat menemukan
tulang Dinosaur waktu foto-foto di toilet mall. Bukan hanya karena pemisahan nama ku
menjadi 3 suku kata, letak huruf yang enggak seharusnya ditempatkan dalam nama
ku mempengaruhi pengucapan seseorang yang baru pertama kenalan dan membaca nama
ku. Mereka akan mengucapkan
‘ Rachman Wachyuuuu .... ‘ kemudian dengan ragu-ragu mengucapkan ‘ din ‘ dan diakhiri
dengan pertanyaan, “ itu nama kamu emang begitu ? Din nya emang dipisah ? Kamu siapanya Din
Syamsudin ? “. Huffff ..
Mau enggak mau, suka enggak suka aku cuma bisa
senyum dan menjawab, “ iya, hehehe “ sambil berusaha mencari-cari alasan lain
yang enggak memalukan dan masuk akal. Tapi emang begitulah keadaannya, jawaban
lain belum pernah ketemu, atau enggak bakalan pernah.
Sebenarnya,
nama aku diberikan oleh abang papa ku, sekarang beliau udah tiada dan nama dari
beliau ini lah yang terpilih diantara nama-nama lain yang udah dipersiapkan
sebelumnya. Apalah arti sebuah nama, mungkin kalimat itu sering terdengar dan
kalian juga udah ngerti. Tapi menurut aku arti sebuah nama itu sangat penting,
karena nama bisa mewakili sifat dan tingkah laku seseorang atas nama tersebut.
Jika nama ku diartikan satu persatu menurut
istilah Agama, nama aku Rahman, yang berarti pengasih.Wahyu, merupakan ajaran
yang diturunkan kepada para nabi melalui perantara malaikat Jibril, sedangkan
Din sendiri bermakna agama. Aku merasa kesulitan dan enggak ada kesinambungan
antara kata-kata yang udah diartikan satu persatu tersebut. Atau mungkin arti
yang paling tepat, aku adalah seseorang yang punya sifat pengasih kepada orang-orang
disekitar ku, yang diharapkan mengamalkan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan
kepada Nabi dan juga mengamalkan agama yang aku yakini. Tapi tetap aja aku
merasa ragu untuk menggabungkan arti-arti dari tiap kata dalam namaku yang bisa
berakibat memiliki makna yang lain, maka dari itu biar Tuhan yang tau makna
sebenarnya, semoga yang baik-baik.
Salah satu nama yang aku ingat udah disiapkan
oleh mama ku adalah , Ghiffari Zakka Wali. Gila, menurut aku nama itu keren
walaupun enggak tau artinya. Setiap orang pasti memiliki panggilan yang berbeda-beda sesuai
dengan tempat dimana dia berada. Misalnya, kalo di sekolah biasanya digunakan
nama depan atau tengah untuk memanggil seseorang. Rahman atau Wahyu, itulah
nama panggilan yang aku dapatkan semenjak SD hingga SMP dan (harusnya)
berlanjut hingga SMA. Namun karena teman ku Syahrial yang salah menggunakan IQ
nya untuk menemukan panggilan tepat untuk ku, ada 3 nama yang dipakai menjadi
panggilan ku sehari-hari.
Di
rumah, sejak kecil semua anggota keluarga memanggil aku Wahyu sampai sekarang.
Mulai dari orang tua sampai saudara jauh sekalipun, termasuk tetangga sekitar
juga menggunakan nama panggilan itu. Ada
satu nama kecil yang aku miliki saat balita, yaitu Tahpong. Menurut cerita orang
tua dan keluarga pada zaman aku kecil, saat mereka mengucapkan nama Tahpong
berulang-ulang kali, maka aku pun menyesuaikan irama dengan goyangan kepala ku. Apa itu pertanda
aku terlahir sebagai anak dugem? Sedangkan aku sampai tamat SMA enggak boleh
berada di luar rumah lewat dari pukul 10 malam. Berarti bukan itu maknanya,
sukurlah.
Seiring
waktu, nama yang sedikit kontroversial dikalangan lokal dan ingin go
international ini mulai bermasalah, ini
dimulai saat kelulusan di Sekolah Dasar. Nama aku tertulis di ijazah, Rachman
Wachyudin, tidak sesuai dengan akte kelahiran. Berhubung ijazah merupakan hal
penting buat masa depan, maka satu kesalahan enggak boleh dibiarkan. Papa ku mengambil
inisiatif mendatangi kepala sekolah yang menjabat saat itu dan meminta
pertanggung jawaban atas kesalahan kecil namun penting itu. Dalam waktu singkat
dan cukup merepotkan, ijazah ku pun berganti dengan nama yang benar, aku lega.
Kelegaan
aku enggak berlangsung lama, hanya bertahan selama 3 tahun. Dengan momen yang
sama, yaitu saat kelulusan di SMP ijazah aku dengan sukses kembali salah. Aku
benar-benar heran, padahal staf tata usaha SMP udah mengumpulkan foto kopi
ijazah SD sebagai dasar untuk penulisan nama di ijazah SMP. Dan setelah saat
ini aku sadar akan ketidak-telitian pegawai yang bertugas pada bagian
dokumentasi penting sekolah-sekolah sering tidak bertanggung jawab sama sekali.
Banyak juga dokumen penting siswa dan siswi yang tidak diperlakukan dengan baik,
seperti misalnya pas foto yang berulang kali diminta oleh pihak sekolah. Padahal
pada akhirnya, jika ada tuntutan kesalahan yang seperti aku ajukan seperti
kesalahan penulisan nama ijazah, mereka sendiri yang bakal kerepotan menghadapi
dan mencari-cari alasan. Jadi, kenapa dari awal enggak teliti sih ? Toh pada
akhirnya bakalan repot sendiri.
Akhirnya,
ijazah ku di SMP berakhir dengan surat keterangan tambahan yang terlampir dari
sekolah. Pihak sekolah enggak bisa melakukan hal yang sama dengan kepala sekolah
SD ku kemarin, mengganti blanko ijazah yang jumlahnya terbatas. Apa boleh buat,
terpaksa dengan alasan surat keterangan aku harus menjelaskan kepada
pihak-pihak yang bersangkutan dengan kebutuhan ijazah, salah satunya adalah
mendaftar SMA.
***
Sejak
awal masuk SMA mama aku terus mengingatkan, “ kali ini nama kamu enggak boleh
salah lagi ya, Nak “. Itu memang harus, aku enggak mau berurusan dengan pihak
staf tata usaha lagi, mereka nyebelin karena sering marah-marah, padahal karena
kesalahan mereka sendiri. Maka saat pengumpulan ijazah SMP untuk dasar
penulisan ijazah SMA, aku mendatangi wali kelas dan menyampaikan maksud hati
yang udah tersiksa karena terus-terusan mengurus kesalahan penulisan nama di
ijazah.
“
Tolong ya bu, jangan sampai nama saya salah lagi “, kata aku saat menemui wali
kelas pada jam istirahat.
“
Iya, Nak. Ibu usahakan bilang sama tata usaha ya “. Pada saat itu wali kelas
ku, Bu Ririn, tersenyum untuk meyakinkan. Ya, senyum-senyum itu seolah harapan
palsu dan malah tiba-tiba berubah jadi senyum staf-staf tata usaha yang sinis.
Setelah
semua ujian udah berlalu. Mulai dari Ujian Nasional, Ujian Akhir Sekolah, Ujian
Praktek dan segala macam cobaan ujian masa SMA terselesaikan, hanya tinggal
menunggu hasil. Dan saat yang di nanti pun tiba, ijazah terakhir program Wajib
Belajar 9 Tahun pemerintah akhirnya dikeluarkan pihak sekolah. Aku udah
benar-benar yakin, aku ingat senyum manis Bu Ririn saat kemarin meyakinkan ku,
kali ini nama ku di ijazah enggak bakalan salah lagi.
Saat
ijazah keluar, aku baru berhasil memasuki sebuah Perguruan Tinggi Negeri di
Medan. Waktu luang aku sempatkan datang ke sekolah,untuk mengambil ijazah ku,
beserta daftar nilai-nilai kelulusan ku. Soal nilai, hasilnya cukup memuaskan,
membuat aku terharu dan bangga pada diri sendiri. Dan alangkah lengkapnya
kebahagiaan ini jika semua terbalas dengan penulisan nama di ijazah tanpa
cacat, aku enggak bakal perlu menginjakkan kaki di ruang tata usaha SMA ku. Memang
terlalu kejam jika berfikiran seperti itu, tapi ini semata-mata karena
kejenuhan mengurus masalah yang seharusnya tidak perlu menjadi masalah. Jangan
salahin nama aku, walaupun dia emang salah, tapi masalah seperti ini enggak
mungkin timbul kalau emang ada ketelitian. Dan aku berharap buat seluruh staf
tata usaha di segala macam bidang agar memperhatikan hal yang termasuk sering
terjadi ini agar tidak sampai menjadi masalah yang cukup panjang di kemudian
hari.
Hari
itu, sepulang dari sekolah.
“
NAK, KOK NAMA KAMU SALAH LAGI ?? , KEMARIN KAN UDAH MAMA BILANG BIAR DIINGETIN
SAMA WALI KELAS MU, EMANG ENGGAK JADI DI BILANG ???? “.
Entahlah.
Puk-puk aku,woy!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar