Rabu, 26 September 2012

Arti Sebuah Nama


“ Nama aku Rachman Wachyu Din , tapi teman-teman kelas satu biasa sih panggil aku Udin hehehe .. “ . 

Aku tersenyum sedikit sambil nyengir, kemudian kembali ke tempat duduk diiringi tawa kecil dari teman-teman baru.

Ya, kalimat itu aku ucapkan saat perkenalan naik ke kelas 2 SMA jurusan IPA yang membuat nama panggilan itu melekat sampai aku tamat sekolah. Mulai dari teman sekelas, kelas yang lain atau bahkan kakak atau adik kelas kenal aku dengan nama itu. Entah dari mana aku berfikir untuk merangkai kata-kata perkenalan yang sama sekali enggak keren kayak gitu. Tapi aku pikir dari pada bingung mau bilang apa di depan kelas, itu  kalimat paling pas dan singkat yang ada di otak ku. Alhasil dengan nama panggilan itu, cewek-cewek cantik yang pengen di ajak kenalan jadi sulit buat dideketin, udah keduluan ilfill. Membayangkan wajah ku yang sepertinya terkesan tua.

Menurut aku nama Udin itu memang terlihat akrab dan simple, tapi sangat jarang terutama di zaman seperti sekarang anak yang lahir tahun 90-an diberi nama panggilan begitu, apalagi nama beneran. Merubah kharisma seseorang menjadi tua hanya karena sebuah nama panggilan. Kalau  zaman mama aku remajaatau sebelumnya  nama panggilan seperti itu mungkin masih ada. Misalnya nama kakek aku, Akhiruddin Lubis, dulu beliau cocok di panggil Udin. Begitu juga om aku yang bernama Syafruddin Lubis, bisa jadi dia juga mendapat panggilan yang sama.Mama aku juga pernah, bilang kalo semasa dia SMA dulu banyak orang yang juga mendapatkan panggilan seperti itu, dengan tujuan mama pengen buat biar aku memaklumi. Hal ini setidaknya cukup menghibur hati ku, apalagi mama ku juga bilang kalo panggilan Udin itu juga hanya sesaat saja. Tapi keadaan berkata lain, nama Udin pada diriku malah dilestarikan oleh teman teman.

Semua ini gara-gara Syahrial, teman sebangku aku kelas satu SMA yang menciptakan nama itu. Aku tau itu dikarenakan nama ku yang dipisah menjadi 3 suku kata dan memang terlihat aneh. Menemukan nama Udin di tahun 2000-an, ibarat menemukan tulang Dinosaur waktu foto-foto di toilet  mall. Bukan hanya karena pemisahan nama ku menjadi 3 suku kata, letak huruf yang enggak seharusnya ditempatkan dalam nama ku mempengaruhi pengucapan seseorang yang baru pertama kenalan dan membaca nama ku. Mereka akan mengucapkan

 ‘ Rachman Wachyuuuu .... ‘ kemudian dengan  ragu-ragu mengucapkan ‘ din ‘ dan diakhiri dengan pertanyaan, “ itu nama kamu emang begitu ?  Din nya emang dipisah ? Kamu siapanya Din Syamsudin ? “. Huffff ..

 Mau enggak mau, suka enggak suka aku cuma bisa senyum dan menjawab, “ iya, hehehe “ sambil berusaha mencari-cari alasan lain yang enggak memalukan dan masuk akal. Tapi emang begitulah keadaannya, jawaban lain belum pernah ketemu, atau enggak bakalan pernah.

Sebenarnya, nama aku diberikan oleh abang papa ku, sekarang beliau udah tiada dan nama dari beliau ini lah yang terpilih diantara nama-nama lain yang udah dipersiapkan sebelumnya. Apalah arti sebuah nama, mungkin kalimat itu sering terdengar dan kalian juga udah ngerti. Tapi menurut aku arti sebuah nama itu sangat penting, karena nama bisa mewakili sifat dan tingkah laku seseorang atas nama tersebut.

 Jika nama ku diartikan satu persatu menurut istilah Agama, nama aku Rahman, yang berarti pengasih.Wahyu, merupakan ajaran yang diturunkan kepada para nabi melalui perantara malaikat Jibril, sedangkan Din sendiri bermakna agama. Aku merasa kesulitan dan enggak ada kesinambungan antara kata-kata yang udah diartikan satu persatu tersebut. Atau mungkin arti yang paling tepat, aku adalah seseorang yang punya sifat pengasih kepada orang-orang disekitar ku, yang diharapkan  mengamalkan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi dan juga mengamalkan agama yang aku yakini. Tapi tetap aja aku merasa ragu untuk menggabungkan arti-arti dari tiap kata dalam namaku yang bisa berakibat memiliki makna yang lain, maka dari itu biar Tuhan yang tau makna sebenarnya, semoga yang baik-baik.

 Salah satu nama yang aku ingat udah disiapkan oleh mama ku adalah , Ghiffari Zakka Wali. Gila, menurut aku nama itu keren walaupun enggak tau artinya. Setiap orang  pasti memiliki panggilan yang berbeda-beda sesuai dengan tempat dimana dia berada. Misalnya, kalo di sekolah biasanya digunakan nama depan atau tengah untuk memanggil seseorang. Rahman atau Wahyu, itulah nama panggilan yang aku dapatkan semenjak SD hingga SMP dan (harusnya) berlanjut hingga SMA. Namun karena teman ku Syahrial yang salah menggunakan IQ nya untuk menemukan panggilan tepat untuk ku, ada 3 nama yang dipakai menjadi panggilan ku sehari-hari.

Di rumah, sejak kecil semua anggota keluarga memanggil aku Wahyu sampai sekarang. Mulai dari orang tua sampai saudara jauh sekalipun, termasuk tetangga sekitar juga menggunakan nama panggilan  itu. Ada satu nama kecil yang aku miliki saat balita, yaitu Tahpong. Menurut cerita orang tua dan keluarga pada zaman aku kecil, saat mereka mengucapkan nama Tahpong berulang-ulang kali, maka aku pun menyesuaikan irama  dengan goyangan kepala ku. Apa itu pertanda aku terlahir sebagai anak dugem? Sedangkan aku sampai tamat SMA enggak boleh berada di luar rumah lewat dari pukul 10 malam. Berarti bukan itu maknanya, sukurlah.

Seiring waktu, nama yang sedikit kontroversial dikalangan lokal dan ingin go international  ini mulai bermasalah, ini dimulai saat kelulusan di Sekolah Dasar. Nama aku tertulis di ijazah, Rachman Wachyudin, tidak sesuai dengan akte kelahiran. Berhubung ijazah merupakan hal penting buat masa depan, maka satu kesalahan enggak boleh dibiarkan. Papa ku mengambil inisiatif mendatangi kepala sekolah yang menjabat saat itu dan meminta pertanggung jawaban atas kesalahan kecil namun penting itu. Dalam waktu singkat dan cukup merepotkan, ijazah ku pun berganti dengan nama yang benar, aku lega.

Kelegaan aku enggak berlangsung lama, hanya bertahan selama 3 tahun. Dengan momen yang sama, yaitu saat kelulusan di SMP ijazah aku dengan sukses kembali salah. Aku benar-benar heran, padahal staf tata usaha SMP udah mengumpulkan foto kopi ijazah SD sebagai dasar untuk penulisan nama di ijazah SMP. Dan setelah saat ini aku sadar akan ketidak-telitian pegawai yang bertugas pada bagian dokumentasi penting sekolah-sekolah sering tidak bertanggung jawab sama sekali. Banyak juga dokumen penting siswa dan siswi yang tidak diperlakukan dengan baik, seperti misalnya pas foto yang berulang kali diminta oleh pihak sekolah. Padahal pada akhirnya, jika ada tuntutan kesalahan yang seperti aku ajukan seperti kesalahan penulisan nama ijazah, mereka sendiri yang bakal kerepotan menghadapi dan mencari-cari alasan. Jadi, kenapa dari awal enggak teliti sih ? Toh pada akhirnya bakalan repot sendiri.

Akhirnya, ijazah ku di SMP berakhir dengan surat keterangan tambahan yang terlampir dari sekolah. Pihak sekolah enggak bisa melakukan hal yang sama dengan kepala sekolah SD ku kemarin, mengganti blanko ijazah yang jumlahnya terbatas. Apa boleh buat, terpaksa dengan alasan surat keterangan aku harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan kebutuhan ijazah, salah satunya adalah mendaftar SMA.
                                                                        ***

Sejak awal masuk SMA mama aku terus mengingatkan, “ kali ini nama kamu enggak boleh salah lagi ya, Nak “. Itu memang harus, aku enggak mau berurusan dengan pihak staf tata usaha lagi, mereka nyebelin karena sering marah-marah, padahal karena kesalahan mereka sendiri. Maka saat pengumpulan ijazah SMP untuk dasar penulisan ijazah SMA, aku mendatangi wali kelas dan menyampaikan maksud hati yang udah tersiksa karena terus-terusan mengurus kesalahan penulisan nama di ijazah.

“ Tolong ya bu, jangan sampai nama saya salah lagi “, kata aku saat menemui wali kelas pada jam istirahat.

“ Iya, Nak. Ibu usahakan bilang sama tata usaha ya “. Pada saat itu wali kelas ku, Bu Ririn, tersenyum untuk meyakinkan. Ya, senyum-senyum itu seolah harapan palsu dan malah tiba-tiba berubah jadi senyum staf-staf tata usaha yang  sinis.

Setelah semua ujian udah berlalu. Mulai dari Ujian Nasional, Ujian Akhir Sekolah, Ujian Praktek dan segala macam cobaan ujian masa SMA terselesaikan, hanya tinggal menunggu hasil. Dan saat yang di nanti pun tiba, ijazah terakhir program Wajib Belajar 9 Tahun pemerintah akhirnya dikeluarkan pihak sekolah. Aku udah benar-benar yakin, aku ingat senyum manis Bu Ririn saat kemarin meyakinkan ku, kali ini nama ku di ijazah enggak bakalan salah lagi.

Saat ijazah keluar, aku baru berhasil memasuki sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Medan. Waktu luang aku sempatkan datang ke sekolah,untuk mengambil ijazah ku, beserta daftar nilai-nilai kelulusan ku. Soal nilai, hasilnya cukup memuaskan, membuat aku terharu dan bangga pada diri sendiri. Dan alangkah lengkapnya kebahagiaan ini jika semua terbalas dengan penulisan nama di ijazah tanpa cacat, aku enggak bakal perlu menginjakkan kaki di ruang tata usaha SMA ku. Memang terlalu kejam jika berfikiran seperti itu, tapi ini semata-mata karena kejenuhan mengurus masalah yang seharusnya tidak perlu menjadi masalah. Jangan salahin nama aku, walaupun dia emang salah, tapi masalah seperti ini enggak mungkin timbul kalau emang ada ketelitian. Dan aku berharap buat seluruh staf tata usaha di segala macam bidang agar memperhatikan hal yang termasuk sering terjadi ini agar tidak sampai menjadi masalah yang cukup panjang di kemudian hari.
                                                           
Hari itu, sepulang dari sekolah.

“ NAK, KOK NAMA KAMU SALAH LAGI ?? , KEMARIN KAN UDAH MAMA BILANG BIAR DIINGETIN SAMA WALI KELAS MU, EMANG ENGGAK JADI DI BILANG ???? “.

Entahlah. Puk-puk aku,woy!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar