Lampu LED Blackberry ku berkedip-kedip. Biasa, sms promo dari operator atau masa aktif paket gaul harian yang enggak diperpanjang karena pulsa enggak cukup pikir ku. Aku ngulet, berguling ke kiri dan kanan beberapa kali dan kemudian mengambil ponsel ku yang posisi nya hampir jatuh dari atas tempat tidur. Berharap ada BBM, mention di Twitter atau sms dari seseorang yang tadi malam ninggalin aku tidur, tapi kenyataannya sering lain dari yang diharapkan.
“ Man, TA kan aku ya, ngantuk kali tadi malam nonton bola “.
Isi sms Andre aku baca dengan mata yang setengah terbuka. Aku benar-benar masih merasa mengantuk.Kirain ada apaan dia sms, entah itu bilang dosen enggak masuk, atau bilang kampus ku di liburkan selama setahun penuh kan lumayan buat aku semangat dan lanjutin tidur. Tapi malah dia bakalan enggak hadir diperkuliahan, dia minta di TA alias Titip Absen dan aku bisa membayangkan suasana kebosanan yang akan tercipta di kelas nanti. Andre adalah salah satu teman baik ku, kenal sejak aku berada di satu departemen saat Pekan Kuliah Perdana di Fakultas Ekonomi. Temen aku si Andre ini memang suka nonton sepak bola, tapi enggak suka main. Klub favoritnya di liga Inggris, Manchester United, bertanding malam tadi malam tapi kalah. Wajar aja dia males buat masuk kuliah pagi, terkecuali klub kesayangannya itu memperoleh kemenangan mungkin dia bakal sedikit bersemangat buat kuliah. Bukan buat belajar, tapi bercerita dengan teman-teman pecinta sepak bola yang lain di kampus sebelum dan ketika perkuliahan berlangsung. Kalian juga pasti menemukan fenomena cerita seru bareng teman-teman tentang sepak bola dan berbagai liga primer mulai dari zaman sekolah SMP sampai saat ini. Sepak bola memang enggak ada matinya.
Pagi itu aku kurang bersemangat. Efek kepala nyut-nyutan masih terasa karena kemarin baru aja selesai Ujian Tengah Semester. Aku melirik jam dinding, masih pukul setengah empat pagi, cahaya matahari menerobos masuk melalui ventilasi udara, menghangatkan. Kemudian aku tersentak . Gawat! Aku telat bangun! tapi gimana mungkin masih pukul setengah empat pagi sinar terang udah masuk ventilasi kamar ku ? Kemudian aku sadar dan ingat kalo jam dinding itu udah habis baterai selama dua minggu. Sekarang sekitar pukul enam pagi, aku kembali menutup mataku dan merebahkan diri, tak ingin waktu berlalu begitu cepat. Aku ingat hari itu masuk kuliah pukul setengah sebelas siang, berarti aku bisa malas malasan sebentar lagi.
Sekitar setengah jam aku tertidur, kemudian terbangun. Aku buka jendela yang ternyata enggak terkunci tadi malam, seperti biasa aku lupa buat ngunci semalam sore. Matahari udah mulai naik, menyebabkan awan disekeliling nya berwarna oranye, kicauan burung saling berlomba menyambut pagi. Momen yang indah untuk diabadikan. Aku hirup udara pagi yang dingin sambil bersyukur dalam hati karena pagi ini aku masih bisa melihat dunia dan segala sesuatunya.
Keluar dari kamar, nenek ku udah duduk di kursi meja makan. Seperti biasa di beliau selalu siapin cemilan sederhana. Sekedar teh manis hangat dan beberapa jenis roti yang disimpan dalam toples kue lebaran tahun lalu dan tahun sebelum-sebelumnya. Aku duduk di kursi sebelahnya, mengambil segelas teh untuk merasakan kehangatannya di kerongkongan.
“ Masuk kuliah jam berapa? “ , tanya nenek sambil mengunyah roti .
“ Jam setengah sebelas, Nek .. “
“ Ohhh ... jaga rumah sebentar, nenek mau ke pasar “. Nenek kemudian meninggalkan meja makan, masuk ke kamarnya.
Nenek ku termasuk sangat sehat dalam usia yang dia sendiri lupa berapa, apalagi aku. Beliau enggak tau kapan dia lahir dan enggak ingat ulang tahun satu pun anak anaknya. Maklum aja karena faktor usia Enggak kebayang kalo nenek ku punya Facebook, kronologinya akan sepanjang apa. Walaupun enggak menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun semasa kecil, beliau telah berhasil menjadikan ke-tujuh orang anaknya menjadi manusia yang berhasil dalam berbagai jalan kehidupan. Berbekal didikan dalam keluarga yang keras dan dasar agama yang kuat, semua anaknya memiliki kepribadian yang baik. Aku sering mendengar cerita kehidupan masa lalu keluarga dari mama dan ingin merasakan hal yang seperti itu. Kadang aku berfikir, aku ingin hidup dimasa lalu, disaat keluarga mengutamakan kebersamaan tanpa mementingkan pekerjaan mereka semata-mata buat urusan materi dan duniawi. Tapi itu enggak akan pernah terjadi, karena aku memang ditakdirkan untuk hidup di zaman sekarang ini.
“ Pinggir bang! “ , supir kemudian dengan cepat memasang lampu tangan dan meminggirkan angkutan umum yang dibawanya.
Aku sampai di Sumber, sebuah daerah disekitar lokasi kampus yang selalu ramai dan digunakan sebagai jalan pintas agar cepat sampai dikampus. Banyak terdapat usaha berjualan disekitar daerah ini. Mulai dari berjualan pulsa, majalah, jasa pengetikan, cuci foto dan segala macam keperluan yang berhubungan dengan kebutuhan mahasiswa.
Udah pukul setengah sebelas lewat, dan aku udah hampir telat. Aku berjalan melewati beberapa mahasiswa yang juga berjalan di selitar lingkungan kampus, ada yang berjalan searah dan ada juga yang berlawanan sambil sesekali menghindari sepeda motor yang berlalu lalang di jalan kecil ini. Pikiranku makin enggak tenang, aku paling malas kalo udah terlambat masuk ke kelas. Tiba di mushalla Perpustakaan, aku lihat Sofyan duduk santai diteras, kami satu jurusan namun beda kelas pada mata kuliah ini. Dia juga udah liat aku dari kejauhan dan langsung menyapa setengah berteriak.
“ Mau kemana , Man? “
“ Masuk kelas lah, kau emang enggak masuk apa? “ jawabku sambil terus berjalan cepat dan sesekali melihat ke arahnya.
“ Kelas kalian udah keluar tuh! “
“ Lah, emang jam kuliah hari ini dipercepat apa? “
Langkahku terhenti, mencoba mengingat namun pikiranku udah buyar. Aku lanjutkan langkah ku menuju kelas, sambil terus berfikir apa dosen ada menyampaikan setelah Ujian Tengah Semester kelas dipercepat dari jadwal biasanya, sementara Sofyan mungkin heran melihat aku yang terus berjalan ke kelas. Karena enggak berhasil mengingat aku ambil ponsel di tas, ku telfon Andre. Agak lama nada tunggu panggilan berlalu akhirnya telfon ku di angkat.
“ Haaaa ...... Ada apa man? “ suaranya Andre berat.
“ Eh emang hari ini masuk kuliah dipercepat ya? “
“ Enggak ah, kan emang masuk jam delapan, makanya itu aku minta TA, emang kenapa man? “ tanya Andre yang jadi bingung.
Andre bingung, aku jauh lebih bingung. Semacam ada hal yang aku lupa untuk disadari, tapi aku sendiri enggak tau apa yang sebenarnya pikiranku ingat. Aku diam sejenak, kemudian melanjutkan
“ Aku kira kita masuk jam setengah sebelas ndre, ternyata jam delapan ya ... “
“ Lah jadi aku engga jadi kau TA kan ya ? Hahaha yaudahlah , Man . . . “
“ oke Ndre, sorry ya “.
Telfon ku tutup.
Aku jadi semakin bingung, ini benar benar memalukan, mungkin cuma aku mahasiswa yang lupa jam kuliah sendiri. Aku sampai didepan aula fakultas, berjalan menuju ke arah parkiran sepeda motor sambil melihat kiri dan kanan, takut ketemu siapa pun yang aku kenal karena bakalan ditanya kenapa aku enggak masuk. Bisa-bisa aku di anggap pemalas padahal ini cuma kecerobohan yang berujung absen nya 3 mahasiswa di kelas ku. Ya, teman aku Sandro juga minta di TA tadi pagi selang sms Andre aku balas tadi pagi. Alasannya sama, karena begadang nonton bola.
Pukul dua siang nanti ada kuliah lagi, tapi aku udah enggak semangat. Satu-satu nya yang ada difikiranku saat itu cuma pulang ke rumah. Aku beneran enggak siap buat diketawain hari ini, apalagi sama si Ridho, teman yang paling kepo. Soal absen buat mata kuliah nanti siang, kan bisa minta gantian di titip ya . . . .
Di angkot pulang aku berulang kali kirim pesan ke Andre, minta maaf karena enggak bisa titip absen dia tadi pagi. Dia bilang sih enggak apa apa, tapi tetap aja aku ngerasa enggak enak. Masalah absen ini penting, mempengaruhi nilai. Tapi walupun di zaman seperti sekarang ini penuh persaingan dalam hal apapun, solidaritas pertemanan tetap aja ada.
“ Tenang Man, mata kuliah nanti siang kau ku TA kan “. Balasan sms Andre itu contohnya.
***
Titip absen memang udah fenomenal dikalangan mahasiswa, semester pertama sekalipun. Alasan yang paling utama titib absen adalah malas masuk kuliah dan pengen menghabiskan waktu tidur-tiduran di kost, pengen nongkrong di luar bareng teman teman atau mungkin gebetan yang kemarin sulit buat di ajak jalan tiba-tiba ngeluangkan waktunya dan terpaksa menyita jam kuliah, menyebabkan absen jika TA gagal, mengurangi nilai IP dan pada puncaknya menunda kelulusan. TA engggak susah, cuma tinggal berusaha menyama-nyamakan tanda tangan teman yang akan di TA tapi menanggung resiko yang berat, ketahuan dosen.
Malas masuk kuliah mungkin alasan utama, tapi itu bukan alasan sebenarnya buat aku. Jarak lah penyebabnya, aku LDR-an dengan kampus yang terletak beda kota dengan tempat tinggal ku. Harus nya aku menjadi anak kost, mencari daerah yang berada di sekitar kampus agar mempermudah perjalanan tapi enggak buat aku. Izin dan kekhawatiran orang tua akan kehidupan kost membuat aku menjalani kehidupan seperti ini, tinggal di rumah nenek . Jarak tempat tinggal yang terpisah sekitar 80 km dari kampus yang berada di kota Medan cukup menguras tenaga dan waktu. Saat ini transportasi memang udah banyak, tapi kendala terkadang datang disaat yang enggak diinginkan. Perhitungan aku lama perjalanan ke kampus sekitar satu setengah jam termasuk kemacetan dan lain-lain, pemilihan kendaraan umum juga salah satu kendala.
Aku bukan tipe yang suka memaksakan diri berjejalan dengan penumpang lain, alasan tambahan adalah karena badan ku yang semakin lama semakin melebar sehingga aku lebih suka memilih angkot berpenumpang sedikit untuk menemukan posisi yang nyaman. Tapi hal ini pula yang memakan waktu, belum lagi sistem keberangkatan angkutan umum yang berdasarkan jumlah penumpang. Semakin cepat penumpang nya penuh, semakin cepat berangkat.
Angkutan umum yang biasa aku gunakan salah satunya Rajawali, dengan ini aku yakin bisa ngalahin pendekar-pendekar yang terbang naik elang. Rajawali adalah angkutan umum yang berukuran kecil dengan letak pintu disamping seperti angkutan umum lainnya. Jumlah normal dan sewajarnya adalah sepuluh orang penumpang dengan seorang supir. Posisi yang aku harapkan adalah tepat di belakang supir, dengan alasan agar dengan mudah turun tanpa harus berdesakan dengan penumpang, karena udah pasti kalo duduk dibelakang aku bakalan nyangkut. Atau jika ada kesempatan duduk di depan disebelah supir. Banyak persoalan yang terjadi selama perjalanan di angkutan umum, terutama saat aku duduk di depan, sebelahan sama supir.
Pernah pada suatu hari aku berangkat pukul setengah sebelas siang, suasana udah mulai panas dan tentunya suasana pinggir jalan lintas Sumatera itu bertebaran debu. Satu Rajawali mendekat, tak perlu melambaikan tangan supir udah menawarkan tumpangan berbayar. Kursi di depan kosong dan aku berinisiatif buat langsung naik, buat apa menunggu lama tawaran angkot lain.
Baru berjalan sekitar seratus meter supir kembali menepi ke pinggir jalan, ada seorang tukang pecal dan beberapa orang pegawai negeri disana. Tukang pecal itu berjalan membawa dagangan nya ke arah ku, perasaan ku mulai enggak enak. Ternyata benar, dia memilih untuk duduk di depan tepat bersebelahan dengan ku. Pintu di tutup dengan keras pertanda masalah segera di mulai. Aku terjepit diantara tukang pecal, porseneling dan supir. Supir memulai transmisi satu, porseneling nya nyangkut di paha ku. Ku angkat paha ku dan di susul rasa sakit di pinggang semacam encok, supir berhasil menggerakkan mobil perlahan. Saat transmisi kedua masalah semakin menjadi, porseneling mentok enggak bisa bergerak ke tempat yang seharusnya. Mesin meraung-raung, supir panik, aku panik, tukang pecal biasa aja seolah enggak merasa berdosa. Porseneling langsung di oper ke transmisi tiga, angkutan umum berjalan menyendat-nyendat seolah enggak sanggup, aku bingung harus gimana karena posisi duduk ku enggak bisa di geser kemana pun lagi.
Sepanjang perjalanan suasana hening, enggak ada sedikitpun obrolan yang tercipta. Ibu-ibu tukang pecal berulang kali melirik ke arah ku, aku cuma pura-pura enggak tau karena benar-benar merasa kesal dengan ibu tukang pecal. Banyak penumpang yang dilewatkan sang supir karena masalah porseneling nyangkut, wajahnya cemberut mungkin memikirkan setoran awal yang bakalan gagal. Pinggang ku semakin nyeri setengah perjalanan, ku lirik ke arah ibu tukang pecal dan ternyata dengan tenang dia tidur ! Iya, dia tidur di tengah penderitaan orang lain! Rasanya aku pengen ngebuka bungkus dagangan nya, membuat mi pecal sendiri dan kemudian ku habiskan sepanjang perjalanan sambil nyuapin pak supir. Yang lebih menyebalkan lagi, ternyata kami satu tujuan yaitu terminal Amplas. Berarti pinggang ku bakalan keseleo sampai akhir perjalanan.
Naik angkutan umum emang penuh dilema, selain masalah posisi duduk kemacetan juga alasan utama. Selain itu bahaya dalam yang belakangan ini tindak kejahatan seperti pemerkosaan terhadap wanita perlu diwaspadai. Aku juga pernah mengalami tindakan kejahatan, yang jelas bukan diperkosa. Copet, ponsel baru aku hilang ditengah perjalanan menuju kampus karena hal yang enggak disangka-sangka. Pelaku nya bapak-bapak yang seolah olah bisu, sampai sekarang aku enggak tau kebenaran akan kekurangannya itu. Modus nya adalah dengan mengalihkan perhatian ku membuka jendela angkutan umum, sementara pencopet mengobrak abrik tas ku. Lebih sialnya lagi, setelah sampai dikampus dosen malah enggak hadir dan hanya disuruh mengisi absen. Semoga bapak itu diberi hidayah.
***
Kuliah semester 5 ini memang butuh kesabaran. Jam kuliah yang dimulai pukul 1 siang dan berakhir hampir pukul 6 sore menyita setengah hari waktu diperjalanan, apalagi dengan angkutan umum. Pada suatu malam aku telat pulang, didalam angkot beserta beberapa penumpang lain, menunggu tambahan orang lain lagi sampai angkot menjadi sesak seperti biasa. Setelah beberapa menit angkot mulai bergerak, disebelahku duduk seorang ibu paruh baya membawa ember besar. Tak apa asalkan dia bukan tukang mi pecal kemarin, aku masih kesal. Di depan duduk seorang wanita, mungkin atasan ku 2 tahun membawa sebuah tab dan laptop, beserta seorang satpam dan kemudian mereka berkenalan.
Sementara supir masih seusia remaja, dia merasa senang karena wanita yang lumayan cantik itu ada disebelahnya dan dia mulai merayu-rayu,
“ Haih dek, senang kali abang malam ini, asal ada adek disebelah abang !!! “ .
“ Abang tanda orang-orang yang sering bepergian naik angkutan umum, terutama yang cantik kayak adek ini “.
Wanita itu diam aja, aku enggak mendengar sepatah kata pun dari mulutnya, apalagi melihat ekspresi wajahnya digombal kayak gitu. Yang aku tebak, wanita itu enggak mudah kejebak dengan kata-kata yang menurutku biasa. Dia lebih memilih melihat ke satpam yang tersipu disebelahnya mendengar kata-kata sok manis sang supir.
Angin mulai terasa dingin karena angkot melaju kencang dijalan tol, penumpang lain dibelakang asik bercerita masing-masing. Aku memalingkan wajah keluar jendela, ingin melepas penat seharian penuh selama perjalanan menuju kampus dan kembali ke rumah. Aku melihat ke langit, kelam, tak satupun bintang menghias sendunya malam. Mungkin bulan juga berada di sisi lain semesta untuk menerangi, sehingga dia tak memperlihatkan wajahnya dihadapanku malam itu.
Kelap-kelip di langit, pesawat melintasi langit luas dan berlawanan arah dengan arah yang aku tuju bersama penumpang yang ada di angkot ini. Memori ku berputar kembali, mengingat sesuatu yang penting. Dulu aku punya cita-cita keren, ya, menjadi seorang pilot. Kalian tau pasti, menjadi seorang pilot bukan cita-cita gampangan. Butuh biaya, pikiran dan kemampuan lebih untuk mewujudkannya. Sejak SD cita-cita ini masih ku genggam hingga tamat, namun semenjak prestasi di SMP yang mulai menurun sepertinya aku harus melepasnya bersama impian-impian besar yang lain.
Menurut aku, sekeren-kerennya pilot adalah yang mengendalikan sebuah pesawat dengan tujuan terjauh, bintang dan galaksi yang ada dijagat raya, pesawat ulang alik. Kemarin baru aja aku menonton acara di televisi, memberitakan tentang tempat wisata yang terindah di dunia dan salah satu tujuan terbaiknya adalah luar angkasa. Bayangkan, di zaman sekarang ini apapun bisa dilakukan oleh manusia, termasuk berada diluar angkasa. Biaya yang dibutuhkan kalo enggak salah sekitar 20 miliyar per orang, dan hanya orang tertentu yang bisa menikmatinya. Mau yang gratisan ? jadikan diri sendiri menjadi pilotnya, pergi menikmati indahnya sisi lain dunia yang selama ini hanya bisa disaksikan dari kejauhan dan kembali lagi, menunggu jadwal keberangkatan selanjutnya. Benar benar luar biasa, dibandingkan dengan seorang aku yang sekarang ini yang hanya bisa mengimajinasikan masa depan seadanya.
Satu hal yang bisa aku lakukan untuk membela diri dari keadaan ini adalah beranggapan bahwa Tuhan punya rencana lain buat ku. Dari yang harusnya mempelajari perhitungan yang dominan ilmu Fisika, menjadi ilmu perekonomian. Lari memang dari kenyataan, tapi siapa yang bisa meramalkan masa depan secara akurat ? Aku bisa menganalogikan, kalo apa yang aku alami sekarang hampir serupa dengan apa yang pilot lakukan. Setiap hari aku pulang dan pergi ke kampus, mengambil sebanyak-banyaknya ilmu sebagai bekal untuk masa depan yang cerah dan setinggi-tingginya, itulah tujuan akhirku. Kalo di ibaratkan, masa depan itu lah bintang yang tinggi, bintang yang selama ini di tuju oleh sang pilot pesawat ulang alik. Yang aku lakukan dengan tugas pilot mempunyai tujuan yang sama, tapi dengan cara dan jalan yang berbeda. Setidaknya, itu cukup membuatku tersenyum, inilah rasanya cita-cita tinggi dulu yang aku impikan berjalan dengan sederhana seperti sekarang.
Lamunan tadi ternyata menyita waktu, enggak terasa perjalanan akan segera berakhir beberapa detik di depan. Penumpang semakin berkurang dan tujuan akhir hampir terdekati, pukul 9 malam dan aku baru nyampai menuju rumah. Perjalanan beserta lamunan tadi begitu bermakna, cukup menguatkan hati ini kalo masa depan ini berjalan tak semeleset dari yang aku harapkan dulu. Yang membedakan hanya satu, angkot Rajawali enggak ada miripnya sama pesawat ulang alik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar